Jumat, 20 Juni 2014

Haruskah? (part 3)

Aku sadar, aku tak bisa terus-terusan menjauh darinya. Kita kembali seperti saat awal dulu. Ya, kemana-mana berdua, berkirim pesan singkat setiap hari, saling menyemangati satu sama lain. Kenyamanan seperti ini lah yang selalu kurindukan. Namun tak jarang kita berdebat mengenai hal yang sama mengenai hubungan kita dan kekasihnya. Dia selalu mencoba menyakinkanku, bahwa dia benar menyayangiku. Namun, dia  tak bisa memutuskan kekasihnya itu. Aku mencoba bertahan pada hubungan yang absrud ini. Dia memintaku berjanji agar tak akan mengulangi tuk mencoba menjauh darinya. Dan bodohnya, aku mengiyakan hal itu.
**

Sudah empat hari ini dia tak mengabariku, aku hanya bisa menunggu. Karena aku benar ingin tak mau memulai lebih dahulu. Aku bertahan pada kegengsianku yang semakin lama semakin menyakitiku. Pada suatu saat seorang temanku memberitahuku, bahwa Denar seringkali membonceng gadis yang tinggi semampai. Aku tak mempercainya, pertanyaan baru timbul dalam benakku. Apakah dia kekasih Denar yang berasal dari Jakarta? Apakah mungkin, Ia ingin menghabiskan liburannya disini? Begitu banyak pertanyaan yang muncul dalam pikiranku, hingga membuatku pusing. Semakin banyak pula yang mengatakan hal sama terhadapku, bahwa Denar sedang bersama dengan seorang gadis lain selian aku. Ah, aku ini siapa? Aku hanya temannya bukan? Aku tak berhak mencemburinya.
Hingga suatu saat, dia tiba-tiba mengirimiku pesan singkat yang isinya dia sedang sakit demam sekarang, dia juga menyuruhku untuk pergi ke kosannya. Aku mengiyakan dan segera bergegas untuk membeli beberapa makanan untuknya. Sesampainya disana, kudapati dia sedang tertidur, suhu badannya cukup tinggi. Tak ada makanan yang kutemui dikosannya. Aku bergegas ke dapur untuk memasakkan bubur ayam favoritnya. Setelah makanan siap, kubangunkan Ia perlahan. Alangkah senangnya aku bisa sedekat ini lagi dengannya, kerinduanku seakan mulai terjawab. Sendok demi sendok Ia habiskan. Suhu badannya pun mulai stabil.
Lagi-lagi kami kembali akrab, rasa tak ingin jauh darinya inilah penyebabnya. Hubungan kami semakin absurd, semakin dibuatku nyaman, semakin dibuatnya tak mau kehilangan. Cinta? Ya, cinta. Mungkinkah? Ketololanku yang mau menerima saat dia butuh dan ditinggalnya saat dia tak butuh.
**
Hal itu terjadi lagi, Denar kembali menghilang dan tak mengabariku untuk beberapa saat. Laporan-laporan tentang dia yang sedang bersama gadis lain pun mulai sering terdengar. Andai saja aku bisa melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, pasti lebih mudah untukku agar memutuskan tuk meninggalkannya.
Aku berada di puncak kelelahan dalam penantian. Aku benar-benar sudah tak sanggup tuk memperjuangkan ini sendirian. Sudah lama aku bertahan dalam pengabaian. Sekarang saatnya aku melepaskan dengan keperihan. Berjuang sebisaku untuk hidup tanpanya, aku yakin aku bisa!
Beberapa hari telah kujalani, aku sudah mulai nyaman dengan keadaan yang kuciptakan sendiri. Tiba-tiba Dia kembali datang, menanyai kabarku lewat pesan singkatnya, menelfonku berkali-kali, mencari-cariku lewat teman-temanku. Menghindar, inilah jurusku. Aku tak mau terpuruk dalam ketololan saat aku bersamanya. Berulang kali dia menanyakan janjiku, janji agar tak menjauh darinya. Sedangkan dia sering mengabaikanku, tak melihat sampai mana perjuangkanku. Tekadku sudah bulat tuk tak kembali padanya. Aku yakin suatu saat akan ada seorang yang memperjuangkanku seperti aku memperjuankan Denar. Aku menantinya, menanti laki-laki yang mau berjuang  dan berkorban banyak untukku.
Selesai!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar