Jumat, 20 Juni 2014

Haruskah? (part 3)

Aku sadar, aku tak bisa terus-terusan menjauh darinya. Kita kembali seperti saat awal dulu. Ya, kemana-mana berdua, berkirim pesan singkat setiap hari, saling menyemangati satu sama lain. Kenyamanan seperti ini lah yang selalu kurindukan. Namun tak jarang kita berdebat mengenai hal yang sama mengenai hubungan kita dan kekasihnya. Dia selalu mencoba menyakinkanku, bahwa dia benar menyayangiku. Namun, dia  tak bisa memutuskan kekasihnya itu. Aku mencoba bertahan pada hubungan yang absrud ini. Dia memintaku berjanji agar tak akan mengulangi tuk mencoba menjauh darinya. Dan bodohnya, aku mengiyakan hal itu.
**

Haruskah? (part 2)

Semua berjalan begitu saja, hingga ada rasa tuk ingin milikinya. Sudah sebulan lebih kita bersama, kemana-mana selalu berdua. Sampai aku tak sadar, aku tak memiliki teman kecuali dia. Banyak yang menduga bahwa kita adalah sepasang kekasih. Sebenarnya itu harapku. Tapi, itu hanya harapanku. Entah dia.
Suatu saat aku bertanya tentang akun jejaring sosial yang Ia punya, pertanyaan ini terlempar dari pesan singkat yang aku kirimkan beberapa menit yang lalu. Tak lama kemudian dia membalas pesan tersebut. Setelah kau mendapat nama akun twitternya, aku langsung menekan tombol search, lalu stalking tentang apa yang Ia tulis di dalam akunnya. Ternyata, dia bukan sosok yang terlalu aktif di sosial media, berbeda dengan aku. Ya maklum saja, seorang wanita yang rajin berkicau di sosial medianya tak hanya aku saja. Setelah aku mengodol-odol isi twitternya, ada salah satu tweet yang membuatku tercengang. “Selamat pagi @..... , semangat untuk hari ini {}” begitu isi tweet yang membuatku bertanya-tanya. Tweet itu dikirim sekitar sebulan yang lalu, pada saat itu aku sudah dekat dengannya. Lalu aku melihat isi bio miliknya, terdapat initial nama seorang wanita. Bisa bayangkan betapa hancurnya hatiku saat itu. Aku menahan air mataku, aku bukan wanita yang rapuh. Kuberanikan diri untuk bertanya padanya siapa yang ada di bionya keesokan pagi saat kami bertemu di kantin kampus, tempat favorit kami.
**
“Boleh aku bertanya sesuatu?”
“Ya, tanya apa? Wajahnya serius banget sih.” Candanya sambil mencubit pipiku.
“Dia siapa? Initial di bio twittermu? Kekasihmu kah?” tanyaku dengan mata yang menelisik
Wajahnya yang semula ceria, seketika menjadi datar. Ada sesuatu yang tak ingin dia bicarakan, entah dia marah dengan pertanyaanku.
“Dia, ya, dia kekasihku. Kenapa?”
Hatiku serasa dihujam beberapa batu, sesak tak terkira rasanya. Aku mencoba menahannya, sebisaku untuk tak keluarkan air mata.”
“Hei?” gertaknya
“Iya? Kenapa gak pernah cerita sih kalo punya pacar? Barangkali kamu ingin mengenalkannya padaku?” nadaku dengan candaan sebisaku.
“Dia teman SMAku sewatu dulu, sekarang dia berada di salah satu Sekolah Tinggi di Jakarta” jawabnya
“Oh.”
“Kok Cuma oh? Lain kali kalau ada waktu akan kukenalkan kamu dengannya.”
“Iyadeh. Aku ke toilet dulu ya?” sambil melangkah beranjak pergi.
“Perlu diantar lagi?” guraunya sambil menjulurkan sedikit lidahnya.
“Tak perlu, aku sudah tau jalannya.”
Langkahku semakin cepat, aku ingin segera sampai di toilet. Kudapati toilet sepi waktu itu, aku menangis sungguh hebatnya. Hingga ada teman satu kelasku yang mencoba menggedor pintu, menanyakan keadaanku. Dia mengkhawatirkanku. Aku segera membuka pintu toilet tersebut, menghampiri temanku tersebut. Segera kurangkul tubuhnya, dengan tangisan yang semakin menjadi. Aku tak seberapa akrab dengan Sisil, ya namanya Sisil. Seseorang yang sekarang ini sedang kupeluk erat.
Semenjak itu aku dan Sisil menjalin pertemanan yang begitu dekat. Aku mencoba menghindar dari Denar sebisaku. Mencari kesibukan agar aku sedikit melupakan kekecewaan dan kesedihanku pasca kejadian tersebut.

Haruskah? (part 1)

Aku tak meminta ini terjadi, semua berjalan begitu saja. Entah apa yang ada dalam fikiranku, hingga aku terlalu bodoh tuk jalani semua ini. Semua berawal dari sebuah pertanyaan sederhana yang kulempar pada seorang seanggakatanku.
“Emm, hai!” ucapku ragu untuk memulainya
“Ya, ada apa?” sambil mengukir senyum di ujung bibirnya yang entah membuatku menjadi salah tingkah.
“Aaaa.. aku mau bertanya kamu tahu kamar mandi di kampus ini? Aku sudah berkeliling sampai tiga kali. Tapi tak juga menemukannya. Tanyaku gelisah, karena aku sudah benar tak bisa menahan untuk buang air kecil.
“Oh kamar mandi, sini aku antarkan” lagi-lagi dia lempar senyuman manis kepadaku
Setelah bercakap cukup banyak, sambil berjalan ke kamar mandi yang jaraknya cukup jauh dari tempat awalku bertemu dengan sosok yang tak terlalu tinggi, dengan kulit sawo matang, serta rambut yang sedikit gondrong dan berantakan. Keinginan buang air kecil yang tertahan tiba-tiba hilang begitu saja.