Aku tak meminta ini terjadi, semua berjalan begitu saja.
Entah apa yang ada dalam fikiranku, hingga aku terlalu bodoh tuk jalani semua
ini. Semua berawal dari sebuah pertanyaan sederhana yang kulempar pada seorang
seanggakatanku.
“Emm, hai!” ucapku ragu untuk memulainya
“Ya, ada apa?” sambil mengukir senyum di ujung bibirnya yang
entah membuatku menjadi salah tingkah.
“Aaaa.. aku mau bertanya kamu tahu kamar mandi di kampus
ini? Aku sudah berkeliling sampai tiga kali. Tapi tak juga menemukannya.
Tanyaku gelisah, karena aku sudah benar tak bisa menahan untuk buang air kecil.
“Oh kamar mandi, sini aku antarkan” lagi-lagi dia lempar
senyuman manis kepadaku
Setelah bercakap cukup banyak, sambil berjalan ke kamar
mandi yang jaraknya cukup jauh dari tempat awalku bertemu dengan sosok yang tak
terlalu tinggi, dengan kulit sawo matang, serta rambut yang sedikit gondrong
dan berantakan. Keinginan buang air kecil yang tertahan tiba-tiba hilang begitu
saja.
“Terima kasih telah mengantarku, aku tak tau jika tidak ada
kamu, mungkin aku bisa kencing dicelana.”
“Haha, tak usah berlebihan begitu, aku hanya ingin membantu.
Lagian ini bukan sesuatu yang berat tuk dikerjakan.” Ucapnya sambil cekikikan.
Wajahku memerah dan akupun langsung masuk ke dalam toilet.
Aku masih berharap dia menunggiku di depan. Setelah aku mulai mencoba tuk
keluar sambil tergopoh. Alangkah senangnya saat ku temui dia masih duduk di
deretan bangku tak jauh dari toilet.
“Hai!” aku memberanikan diri tuk kembali menyapanya sambil
berharap akan adanya percakapan seperti yang kuharapkan.
“Kamu sudah selesai? Cepat sekali.” Wajahnya teraut
keheranan.
“Sudah, kamu menungguiku?” detak jantungku saat itu benar
sangat kencang.
“Iya, kita belum sempat berkenalan kan?” Ucapnya sambil
lagi-lagi tersenyum.
Sontak aku menghela nafas sekencang-kencangnya, hatiku
sangat gembira mendengar kata-kata itu.
“Hei, kau kenapa?”
“Tak, tak apa.”
“Namaku Denar, boleh tau namamu?” Ia mengulurkan tangannya.
“Namaku Diandra, teman-temanku biasa memanggilku Rara.” Aku
membalas uluran tangannya.
“Nama yang cantik, seperti orangnya.” Sambil tertawa kecil.
Tuhan ini semakin membuat hatiku tak karuan. Wajahku
seketika menjadi merah muda, seperti boneka babi kesayayanganku.
“Umm, terima kasih.”
Di mulai dari sini lah, kita mulai sering bersama. Dia
sering membantuku jika aku membutuhkan sesuatu, aku pun juga mulai rela
memberikan banyak waktuku untuknya. Aku sadar ini terlalu cepat, ini bukan aku.
Aku bukan sosok yang mudah kenal begitu saja dengan orang baru di tempat yang
baru. Entah sihir apa yang Ia gunakan, namun yang pasti aku nyaman bersamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar