Jumat, 20 Juni 2014

Haruskah? (part 1)

Aku tak meminta ini terjadi, semua berjalan begitu saja. Entah apa yang ada dalam fikiranku, hingga aku terlalu bodoh tuk jalani semua ini. Semua berawal dari sebuah pertanyaan sederhana yang kulempar pada seorang seanggakatanku.
“Emm, hai!” ucapku ragu untuk memulainya
“Ya, ada apa?” sambil mengukir senyum di ujung bibirnya yang entah membuatku menjadi salah tingkah.
“Aaaa.. aku mau bertanya kamu tahu kamar mandi di kampus ini? Aku sudah berkeliling sampai tiga kali. Tapi tak juga menemukannya. Tanyaku gelisah, karena aku sudah benar tak bisa menahan untuk buang air kecil.
“Oh kamar mandi, sini aku antarkan” lagi-lagi dia lempar senyuman manis kepadaku
Setelah bercakap cukup banyak, sambil berjalan ke kamar mandi yang jaraknya cukup jauh dari tempat awalku bertemu dengan sosok yang tak terlalu tinggi, dengan kulit sawo matang, serta rambut yang sedikit gondrong dan berantakan. Keinginan buang air kecil yang tertahan tiba-tiba hilang begitu saja.

“Terima kasih telah mengantarku, aku tak tau jika tidak ada kamu, mungkin aku bisa kencing dicelana.”
“Haha, tak usah berlebihan begitu, aku hanya ingin membantu. Lagian ini bukan sesuatu yang berat tuk dikerjakan.” Ucapnya sambil cekikikan.
Wajahku memerah dan akupun langsung masuk ke dalam toilet. Aku masih berharap dia menunggiku di depan. Setelah aku mulai mencoba tuk keluar sambil tergopoh. Alangkah senangnya saat ku temui dia masih duduk di deretan bangku tak jauh dari toilet.
“Hai!” aku memberanikan diri tuk kembali menyapanya sambil berharap akan adanya percakapan seperti yang kuharapkan.
“Kamu sudah selesai? Cepat sekali.” Wajahnya teraut keheranan.
“Sudah, kamu menungguiku?” detak jantungku saat itu benar sangat kencang.
“Iya, kita belum sempat berkenalan kan?” Ucapnya sambil lagi-lagi tersenyum.
Sontak aku menghela nafas sekencang-kencangnya, hatiku sangat gembira mendengar kata-kata itu.
“Hei, kau kenapa?”
“Tak, tak apa.”
“Namaku Denar, boleh tau namamu?” Ia mengulurkan tangannya.
“Namaku Diandra, teman-temanku biasa memanggilku Rara.” Aku membalas uluran tangannya.
“Nama yang cantik, seperti orangnya.” Sambil tertawa kecil.
Tuhan ini semakin membuat hatiku tak karuan. Wajahku seketika menjadi merah muda, seperti boneka babi kesayayanganku.
“Umm, terima kasih.”
Di mulai dari sini lah, kita mulai sering bersama. Dia sering membantuku jika aku membutuhkan sesuatu, aku pun juga mulai rela memberikan banyak waktuku untuknya. Aku sadar ini terlalu cepat, ini bukan aku. Aku bukan sosok yang mudah kenal begitu saja dengan orang baru di tempat yang baru. Entah sihir apa yang Ia gunakan, namun yang pasti aku nyaman bersamanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar